laman ini sedang dalam penambahbaikkan..
sebarang kesulitan amat dikesali..

Belajar dari Perang Tabuk: Membangkitkan Energi Aktivasi, Menghindari Berlambat-lambat

Sunday, March 22, 2009

Pada suatu pagi, Rasulullah dan kaum muslimin bersiap-siap, sementara aku belum mempersiapkan apapun. Aku berkata kepada diriku, “Aku akan bersiap-siap setelah satu atau dua hari, lalu menyusul mereka”. Ketika keesokan harinya tiba dan kaum muslimin telah berangkat, aku bermaksud melakukan persiapan, namun aku tidak mempersiapkan sesuatupun.

Ketika pagi berikutnya tiba, aku pun memikirkan, namun tidak juga melakukan persiapan. Hal itu terus menderaku hingga kaum muslimin pergi jauh dan melangsungkan perang. Aku bermaksud pergi dan menyusul mereka. Alangkah inginnya aku melakukan hal itu. Namun itu tidak ditakdirkan kepadaku. Apabila aku keluar setelah keberangkatan Rasulullah, aku merasa sedih, aku melihat diriku hanyalah orang yang tengah ada di dalam kubang kemunafikan.

Kata-kata di atas adalah penggalan ucapan sahabat Rasulullah, Ka’ab bin Malik, yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Ubaidillah yang kebetulan satu suku dengan Ka’ab bin Malik. Hal yang sangat penting dari kisah di atas adalah “berlambat-lambat”. Mungkin selintas kita pernah membayangkan, seandainya Ka’ab bin Malik, segera mempersiapkan kuda dan mengasah pedangnya, mungkin beliau akan bersama Rasulullah dalam perang Tabuk. Namun, demikianlah Allah menjadikan ini pelajaran dan hikmah untuk kita, maka sepatutnyalah kita mengambil manfaat dari kisah Ka’ab dan ketikdak ikutsertaaanya dalam perang Tabuk.

Kita melihat, betapa “berlambat-lambat” bisa hinggap dimana saja, di situasi apa saja dan pada siapa saja. Betapa kata ini yang menggerogoti semangat jihad dan ruhaniah para sahabat meski mereka biasa bertemu Rasulullah secara langsung, apalagi kita yang belum pernah bertemu dengan Rasulullah saw.

Allah berfirman “Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata: "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka.” (An-Nisa:72).

Ayat di atas turun berkenaan dengan berlambat-lambatnya sebagian orang munafik dalam berperang dan persiapannya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya memberikan contoh orang munafik ini misalnya Abdullah bin ubay bin Sallul, dedengkot munafik yang juga pernah memfitnah Aisyah r.a. sepulang dari medan perang Bani Mustaliq.

Agaknya tidak salah bahwa mengkategorikan “berlambat-lambat” sebagai penyakit awal orang menjadi munafik. Orang akan mencari seribu alasan untuk menyelamatkan diri dari “hukuman” akibat berlambat-lambatnya dalam tugas yang diamanahkan (semoga kita tidak termasuk di dalamnya). Kita lihat Ka’ab bin Malik, seorang diplomat ulung, seandainya dia berbohong, niscaya Rasulullah akan percaya, namun Kaab lebih takut akan murka Allah.

Kita tidak asing mendengar seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang menulis thesis, laporan, paper, journal dan bahkan tugas menulis artikel, tidak “kelar-kelar” kerjaannya, salah satunya adalah karena berlambat-lambat. Memang menjadi sunnatullah, bahwa awal akan selalu berat. Energi awal perlu cukup tinggi untuk bisa membuat sesuatu berjalan. Mari kita tengok kembali, ilmu kimia SMA kita, kita telah belajar, bagaimana sebuah energi aktivasi yang cukup besar diperlukan untuk berlangsungnya sebuah proses kimia. Itulah sunnatullah proses di awal. Namun tidak adakah solusi?

Ada sebuah cara yang sederhana untuk membangkitkan energi aktivasi di awal. Cobalah memulai hal-hal kecil di awal. Buat yang akan menulis, tuliskanlah beberapa kata sembarang, tanpa perlu memikirkannya terlalu mendalam. Buat yang akan menggambar, buatlah coretan-coretan sederhana, insya Allah ketika menuliskan kata-kata atau coretan-coretan itu, semangat akan muncul otomatis. Semangat akan muncul tiba2 tanpa kita sadari. Seorang kawan saya mengatakan, “yang penting ada dulu, perkara pengoreksian bisa dilakukan berikutnya”. Demikianlah yang pengalaman penulis telah membuktikannya.

Ternyata seorang D. J. Schwartz dalam “the magic of thinking big” juga menuliskan bagaimana kita harus memulai pekerjaan dengan hal-hal kecil yang ia sebut sebagai energi mekanis untuk memulai pekerjaan besar. Tersebutlah seorang penulis yang mempunyai deadline yang harus dipenuhi, namun ide tak kunjung tiba. Namun ia segera duduk di belakang meja kerja, mengambil pensil dan kertas, lalu menjalani gerakan mekanis menulis. Dia menuliskan apa saja, mencoret-coret, tanpa sadar pikirannya masuk ke dalam jalur yang benar yaitu menulis.

Kadang memang ada ide datang ketika kita tidak sedang bekerja, tapi itu hanya bonus dari Allah. Kebanyakan gagasan yang bagus, kesuksesan datang karena kita mulai bekerja. Demikianlah Allah memberikan rezekinya kepada orang-orang yang berikhtiar (berusaha).

Mungkin siapapun pernah merasakan misalnya saat panggilan sholat isya, kita sedang enaknya nonton TV di atas sofa, atau dalam selimut hangat musim dingin, atau sedang asyik membuat program di depan komputer, maka cobalah untuk berdiri walaupun terasa agak berat dan malas. Atapun saat bangun malam, mencobalah untuk “memutus” mimpi dengan cara bangun.

Demikianlah kita mengaktifkan energi aktivasi, yang memang sunnatullah berat (di awal) namun untuk seterusnya menjadi ringan. Kita harus mampu menjadi inisiator minimal bagi diri kita sendiri. Allah menyukai orang-orang yang selalu berusaha lalu bertawakkal.

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Q.S. Ali-imran:159)

Wallahu ‘alam bishawab.

*Ketua Bidang Dakwah Eksternal KMII-Kansai 2007-2008. Ketua KAMMI-Jepang periode 2004-2005.

p/s: buk..rasa terkena batang hidung sendiri...

0 comments:

Post a Comment